Budaya Perlawanan ; Mari BerLawan…!!
Annaz Ramadhan
Sebelum tahun 1965, ada dua kelompok besar yang bertentangan dalam menilai sastra/kebudayaan/kesenian di Indonesia. Yaitu ada LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang mengusung Seni untuk Rakyat, Politik sebagai Panglima dan Realisme Sosialis yang selalu membumikan budaya kritis dan budaya perlawanan terhadap kekuasaan sang Tiran. Kelompok yang kedua adalah dia yang menamakan diri sebagai Manikebu (Manifesto Kebudayaan).
Para kaum Manikebuis ini selalu mengusung Seni untuk Seni dan Humanisme Universal. Yang oleh Pramoedya Ananta Toer—tokoh Realisme Sosialis Indonesia—mengatakan bahwa pertarungan antara dua kubu itu diistilahkan sebagai “perang babad Lekra” yang berlangsung tahun 1959 – 1965. Artinya adalah, perseteruan dari dua kubu tersebut sangat berpengaruh pada perkembangan kebudayaan dan sastra Indonesia. Antara kedua kubu tersebut, dengan sendirinya telah memberikan idiom-idiom penting yang sering kali dijadikan patokan ideologis dan garis politik individu atau suatu organisasi dalan berkesenian. “Perang” yang tidak adil ini memang dimenangkan oleh kubu Manikebu.
Dan dari situlah kemudian tulisan ini dimulai.
Sejarah telah mengajarkan pada kita tentang makna penindasan dan akhirnya tidak bisa tidak, kita harus melawan. Itulah yang terjadi dengan Indonesia setelah tahun 1965, sejarah yang diajarkan dengan control dan represifitas, dibawah kekuasaan orde baru, yaitu kekuasaan ditangan kolaborasi militer-kapital. Penetrasi kekuatan modal yang datang menjadikan semua sistem politik, hukum, ekonomi juga sosial berada dalam kungkungan terali bernama orde baru. Begitu juga dengan kesenian/kebudayaan yang dianggap membahayakan kekuasaan orde baru, diberangus dari atas bumi manusia, tidak hanya dengan itu, pemutarbalikkan fakta telah diwacanakan orde baru untuk menghancurkan kesadaran rakyat sehingga kerajaan orde baru berdiri kokoh tanpa ada budaya kritis dari rakyat. Seketika itu juga, tidak lama setelah “kerajaan” orde baru berkuasa, maka gerakan kesenian rakyat mengalami kehancuran dan mendapatkan represifitas dari tentara-tentara fasis. Semua unsur yang terkait dengan kesenian rakyat/kiri dibantai tanpa ampun. Unsure-unsur kiri dimusnahkan, baik orang-orangnya, politiknya/kesadarannya, dan juga kebudayaannya.
Sastra dan kebudayaan di Indonesia yang merupakan hasil dari proses revolusi nasional, mencapai kematangannya pada tahun 1950 – 1965. Artinya pada tahun-tahun itu, kebudayaan dan sastra di Indonesia telah menemukan karakternya untuk berkembang menjadi kebudayaan yang tak terpisah dengan rakyat. Karena didukung juga oleh kondisi obyektif dari kemajuan gerakan rakyat saat itu, gerakan rakyat yang benar-benar sadar akan ketertidasan ekonomi-politiknya. Kesadaran yang merangkak maju tersebut dapat dijadikan sebagai faktor perkembangan seni dan budaya. Ungkapan dari Soekarno yang berbunyi : Go To Hell With Your Aid” akan menjadi semangat untuk melakukan bentuk perlawanan yang lebih maju. Semangat yang diajarkan oleh Soekarno adalah semangat pembebasan dari imperium modal dan kolonailisme. Indonesia pra revolusi nasional telah melahirkan manusia-manusia pembebas. Sebut saja TirtoAdhi Soeryo, Pramoedya, Semaun adalah tokoh-tokoh yang mempunyai keteguhan sikap untuk tidak terkooptasi oleh kekuasaan colonial pada zamannya. Begitu juga dengan Max ‘Multatulli’ Havelaar yang mencoba berpropaganda—agar rakyat bangkit melawan—dengan tulisan-tulisannya yang berbahasa Jawa.
Begitu juga dengan Kartini : adalah seorang perempuan pemula yang mendobrak feodalisme Jawa yang berwatak patriarkis—lewat pemikirannya dalam korespondensinya kepada Stella Zehandelaar—juga layak untuk dijadikan pahlawan pada zamannya. Karenanyalah Kartini menjadi sumber inspirasi gerakan budaya pembebasan perempuan.
Djawa Dipa 1914, sebuah gerakan anti feodal Jawa yang berkembang menjadi gerakan anti kolonialisme Belanda; dilanjutkan dengan pergulatan Ki Hadjar Dewantara membangun Taman Siswa, gerakan pendidikan modern yang berbasiskan kebudayaan bagi rakyat tertindas.
Kita bisa melihat keteguhan Mas Marco Kartodikromo, dalam petikan tulisannya :
Dalam pengertian Marxisme, kebudayaan adalah produk dari proses corak produksi pada tiap fasenya. Pada fase komunal primitif, perbudakan, feudal, capital dan komunal modern selalu akan menciptakan kebudayaannya masing-masing dengan watak dan karakter yang berbeda. Dalam rangka melakukan pembelaan terhadap si lemah/rakyat miskin/proletar, maka sebaik-baiknya memang harus memiliki keberfihakan yang jelas. Begitu juga dengan kebudayaan. Budaya haruslah dijadikan sebagai alat propaganda bagi pembebasan kesadaran manusia. Konsep budaya yang membebaskan adalah kebudayaan yang membela kepentingan klas tertindas. Dengan begitu, maka wujud dari budaya yang dihasilkan juga akan dengan sendirinya mewakili kepentingan klas tertindas yang akan mengakhiri kontradiksinya dengan berkuasa.
Beberapa fase dari perubahan corak produksi yang sudah ada, terlihat bahwa masing-masing corak produksi selalu menciptakan watak kebudayaannya sendiri. Patriarki adalah hasil karya paling sukses dari masyarakat feudal. Permasalahan patriarki sudah sangat mengakar-urat dalam otak manusia, bahkan sampai sekarang. Proses penyingkiran terhadap hak-hak fundamental perempuan untuk merdeka seakan dipertahankan oleh rezim secara terus menerus demi kepentingan modal. Perempuan dijadikan sebagai market share yang paling menguntungkan dengan pencitraan sosok tubuh perempuan yang didoktrinkan oleh system capital.
Kekuasaan modal menghancurkan seluruh sendi-sendi kehidupan manusia dan pemikirannya. Sejak 1966 s/d 1998, kebudayaan kiri/kritis/revolusioner hanya diketahui secara samar-samar oleh rakyat Indonesia, karena memang dihancurkan oleh orba, bukan cuma gerakannya, tapi juga sejarahnya, dihilangkan dari ingatan. Pembungkaman pemikiran/ide-ide yang beraliran Marxist menyebabkan budaya revolusioner menjadi “ghaib” dalam perwujudannya. Zaman kapitalisme telah menciptakan produk budayanya sendiri sesuai dengan logika modal mereka. Konstruksi pemikiran tentang konsumerisme pun didoktrinkan melalui media dengan membentuk opini masyarakat. Ujung-ujungnya adalah masyarakat sekarang terjerumus dalam kehidupan ganda yang aneh dalam memandang nilai ekonomis sebuah produk. Konsumsi yang tidak sesuai dengan nilai guna menjadi indicator keberhasilan dari doktrin budaya kapitalisme. Orang membeli karena prestice. Selain itu juga dalam persaingan pasarnya, para kapitalis menjadi rakus memakan semua pesaing-pesaingnya yang berasal dari golongan kecil, tidak manusiawi. Selain itu juga mereka menggunakan topeng agama sebagai alat pengesahan kejahatan. Institusi agama dijadikan fungsi legislasi bagi penindasan. Maka muncullah budaya konservatif atau fundamentalisme agama. Hal tersebut muncul dalam bentuk pelarangan-pelarangan berpendapat yang diamini oleh agamawan. Dengan dalil Tuhan, mereka mengharamkan gerakan yang bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah, gerakan kiri juga diberangus memakai legitimasi ketuhanan. Maka budaya kritis-pun menemukan musuh yang nyata.
Dari banyaknya budaya-budaya yang tidak membebaskan tersebut, menbuat masyarakat Indonesia menjadi hilang ingatan akan sejarah perlawanan bangsanya yang dulu sempat ada. Buah deri deideologisasi dan depolitisasi orba, maka menyebabkan masyarakat Indonesia memiliki watak yang mudah menyerah. Rakyat menjadi tidak memiliki kemandirian penuh, anti kontradiksi dan oportunis. Watak oportunis tercermin dalam tindakan politik para elite politiknya—juga gerakan “rakyat”nya—yang tidak anti kooptasi. Dimana factor-faktor tersebutlah yang sesungguhnya membahayakan gerakan demomkratik. Dengan kata lain, revolusi demokratik telah menemukan hambatan/musuhnya yang lain yang terbentuk karena budaya. Maka yang menjadi tugas utama dari gerakan yang revolusioner adalah menyingkirkan hambatan tersebut guna memuluskan jalan revolusi demokratik menuju sosialisme. Seperti kata Maxim Gorky : “Jika musuh tidak mau menyerah, maka ia harus dihancurkan”. Mengembalikan ingatan rakyat dari deideologisasi dan penghilangan ingatan selama 32 tahun lebih, menjadi pekerjaan yang teramat sukar, yang harus diupayakan secara radikal dan seluas-luasnya dalam propagandanya oleh gerakan pelopor. Terutama bagi para pekerja budaya yang sampai saat ini masih banyak yang berkarakter humanis tidak revolusioner. Pengupayaan propaganda kesadaran sejati yang dilakukan harus berada diluar syarat-syarat dari kapitalisme. Artinya adalah, harus memiliki watak yang anti kooptasi dan anti kooperasi—tidak oportunis—. Dari sekian banyak budaya perlawanan yang berhasil dimundurkan oleh rezim orba, ada satu bentuk budaya revolusioner yang mulai kembali sering dilakukan oleh rakyat, yaitu budaya aksi massa. Kemenangan kecil itu harus kita maknai sebagai capaian yang positif untuk bergerak maju. Dengan ruang yang sempit sekarang ini, budaya aksi massa bisa dijadikan sebagai alat propaganda yang efektif untuk menuntun rakyat meraih kepercayaan dirinya kembali, biar rakyat berani dan mampu membela dirinya sendiri dengan kekuatan massa—PERSATUAN—
Jika dilihat dari situasi yang berkembang saat ini, gerakan yang mengaku mewakili kepentingan klas tertindas pun sudah kehilangan arah ditengah gempuran budaya kapitalisme, mereka dengan mudahnya terkooptasi. Itu yang lebih membahayakan bagi proses perjuangan klas.
Mulai sekarang, rakyat harus berani bangkit membela dirinya sendiri. Organisasi yang maju dan massa yang progressif harus mampu memimpin gerakan rakyat dan kesadarannya (melalui kebudayaan). Mengapa demikian? Karena kita harus mampu melihat arti penting kerja kebudayaan bagi revolusi demokratik yang semakin menemui banyak hambatan. Berangkat dari kenyataan diatas dan juga pentingnya melihat bahwa perjuang kebudayaan harus mengambil sikap untuk ikut dalam garda depan penghancur faktor-faktor penghalang revolusi demokratik dan mempersiapkan kondisi yang mendukung pertumbuhan kebudayaan rakyat dengan kesadaran yang lebih tinggi, dalam rangka meluruskan kembali ingatan sejarah, memperbaiki kegagalan revolusi-revolusi sebelumnya, dan juga melakukan propaganda lewat kesenian yang kerakyatan.. Gerakan kebudayaan harus menjadi bagian dari kepemimpinan perjuangan klas, karena harus kita maknai juga bahwa revolusi sosialis haruslah juga merupakan revolusi kebudayaan. Dengan demikian perjuangan rakyat pun akan menemkan jalan yang lurus. Dengan adanya budaya yang berkesadaran palsu, maka kita harus mampu melihat apa saja yang menjadi factor penghambat pertumbuhan kebudayaan revolusioner. Seperti yang di ungkapkan Kawan Jubaar Ayub Sekjend LEKRA 1955 :
1.Tiadanya kesadaran, bahwa perjuangan rakyat terutama perjuangan buruh tani tidak mungkin dipisahkan dari perjuangan kebudayaan.
2.Sentimen terhadap segala seusatu yang berhubungan dengan kebudayaan sebagai akibat menyamaratakan kultur rakyat dengan kultur borjuis.
3.Tidak adanya dorongan dari gerakan rakyat, terutama gerakan buruh dan tani untuk memperhatikan masalah kultur.
4.Ketidakmampuan seniman rakyat sebagai pekerja kebudayaan rakyat untuk menarik garis kebudayaan rakyat dengan kebudayaan borjuis, meskipun kebudayaan rakyat sendiri memberikan bahan yang berlimpah-limpah.
5. Ketidakmampuan dari gerakan rakyat, terutama gerakan buruh tani dalam usaha menarik golongan inteligensia dan pelajar pemuda yang berpikiran maju ke dalam barisannya.
Dalam taktiknya, propaganda sosialisme lewat kebudayaan bisa dilakukan dengan berbagai macam bentuk, seperti puisi, lagu, cerpen, kethoprak, film dan berbagai bentuk berupa panggung rakyat yang mudah dipahami dan diakses rakyat. Bentuk kebudayaan yang mempunyai isian propaganda sosialisme akan tercermin dalam dua hal, yaitu politik kiri dan kebudayaan kiri. Politik kiri tercermin dengan sebuah tindakan yang anti kooptasi-anti kooperasi, konsisten, teguh pendirian, tidak anti kontradiksi. Sedangkan dalam kebudayaan kiri akan tercermin dalam tulisan-tulisan radikal, kata-kata yang progresif dan tindakan yang revolusioner. Perwujudan tersebut akan menjadikan rakyat memiliki pemahaman yang berkesadaran maju sehingga rakyat dengan sendirinya akan mendapati kepercayaan dan keberaniannya kembali lagi. Rakyat harus berani menuntut haknya, rakyat harus mau bergerak, kita harus bersatu. “Kalau mati harus dengan berani;kalau hidup juga harus dengan berani. Jika keberanian tidak ada, itu sebabnya semua bangsa bisa jajah kita” (Pramoedya Ananta Toer).
Label:
r.u.a.n.g - propaganda
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar