Aku
Sebagaimana juga kau
yang mencintai rasa sayang, mencintai hidup, pertemuan yang manis
dalam segala hal, pemandangan birunya langit
di satu hari bulan Januari.
Darahku juga mendidih
dan aku tertawa hingga mataku
paham pedihnya airmata.
Menurutku dunia ini indah
dan puisi bagai roti; milik semua orang.
Dan urat-urat syarafku tak berujung di diriku
tapi di banjirnya darah
mereka yang berjuang untuk hidup,
cinta,
segala sesuatu,
pemandangan dan roti,
puisi bagi semuanya.
(rogue dalton)
Jiwa yang bersatu
akan menjadi cinta sejati
tapi mencintai tidak harus saling memiliki
itu katamu Mi...
dari dahulu sudah pernah aku mintakan
agar kau mau memberikanku kekuatan
dalam 'ruang' yang hampir tak bercelah
sekarang, aku telah berubah
bukan berubah dari memujamu menjadi tidak memujamu
bukan berubah dari mencintaimu menjadi tidak mencintaimu
tapi...aku menjadi sulit bicara tentang rasa
agar juga kamu tahu
supaya tak kau mintakan penjelasan dariku...
Dengarkan:
obsesiku masih sama
belum berubah...Mi
tetaplah menjadi Matahariku.
FRONT NASIONAL PERJUANGAN BURUH INDONESIA POLITIK RAKYAT MISKIN (FNPBI-PRM)
26 Oktober 2008
Sekber : Jl. Manggarai Utara 1, Blok H No 6, Jakarta Selatan. Telp/Fax:: 021 829 7732, Email:fnpbi.prm@gmail.com, webblog:www.fnpbi-prm.blogspot.com
======================================================
>Statament
Gagalkan SKB 4 Menteri Dengan Persatuan Mobilisasi Kaum Buruh dan Rakyat Miskin Non Kooptasi-Non Kooperasi.
Pada hari jumat (24/10), empat menteri yang terdiri dari menteri tenaga kerja, menteri perindustrian, menteri perdagangan dan menteri dalam negeri telah menyepakati untuk mengeluarkan SKB 4 Menteri yang berisikan kesepakatan untuk tidak memberlakukan satu standarisasi upah minimum di satu wilayah tertentu (yang biasa dikenal dengan UMP/UMK), dengan kata lain Pemerintah tidak lagi terlibat (baca: melepaskan tanggung jawab) dalam penentuan upah untuk kaum buruh Indonesia
Dengan demikian, penentuan upah bagi kaum buruh di seluruh Indonesia untuk upah tahun 2009 tidak lagi ditentukan dengan mekanisme UMP/UMK yang telah berjalan selama ini, melainkan dengan mekanisme baru, yakni mekanisme perundingan antara buruh dan pengusaha di tiap-tiap perusahaannya masing-masing.
Alasan utama dari Pemerintah untuk melepaskan tanggung jawabnya ini adalah untuk mengantisipasi dampak krisis financial yang terjadi di Amerika terhadap para pengusaha di Indonesia.
Agar para pengusaha Indonesia tidak bangkrut, maka harus ada penekanan terhadap biaya produksi, dan biaya produksi yang paling bisa di tekan serendah-rendahnya adalah upah buruh jika dibanding dengan menurunkan biaya bahan mentah, biaya perawatan mesin, biaya listrik, biaya bbm dan bahkan biaya siluman.
Tentu saja alasan Pemerintah ini adalah alasan yang dibuat-buat, alasan yang secara jelas menunjukan keterpihakan Pemerintah pada siapa, yakni pada para Klas Pengusaha, sebab sejatinya krisis yang terjadi dan kemudian dampaknya tidak bisa di bebankan pada kaum buruh dan rakyat miskin, karena :
Seluruh keputusan ekonomi politik yang dibuat selama ini (baik di Amerika maupun di Indonesia dan juga negara-negara kapitalis lainnya) yang sekarang ini mengakibatkan krisis, TIDAK DIBUAT OLEH KAUM BURUH dan RAKYAT MISKIN, melainkan oleh Segelintir Orang yang MERUPAKAN PERWAKILAN KAUM PEMODAL.Selama Indonesia dan juga negara-negara lainnya menggunakan system kapitalis, maka sudah pasti akan selalu terjadi krisis, sebab sistem ekonomi politik kapitalis mempunyai kontradiksi di dalam dirinya sendiri, yakni kontradiksi antara kepentingan untuk menumpuk kekayaaan di tangan segelintir pemodal dengan daya beli mayoritas rakyat (kaum buruh dan rakyat miskin). Dalam bahasa sederhana adalah kenaikan upah kaum buruh sebesar 1 rupiah berarti pengurangan keuntungan sebesar 1 rupiah bagi para pemodal.Kontradiksi ini di sebabkan oleh sebab yang paling mendasar, yakni kepemilikan alat-alat produksi (termasuk modal di dalamnya) dikuasai oleh segelintir orang, semantara watak produksi sendiri bersifat social.Krisis keuangan yang saat ini terjadi di Amerika Serikat dan juga negara-negara kapitalis besar lainnya, adalah cerminan bahwa daya beli kaum buruh dan rakyat miskin di seluruh dunia sudah tidak mampu lagi membeli barang atau jasa yang ada, karena nilai barang dan jasa ini sudah sangat tinggi melampau nilai sebenarnya (dalam bahasa umum, kemandekan sector riil) dan bukan sebaliknya, krisis finasialah yang menyebabkan kemandekan sector riil. Sebesar-besarnya keuntungan spekulan di pasar modal, tetap ada batasnya yakni kesanggupan daya beli mayoritas rakyat, dan jika daya beli ini sudah tidak lagi memadai maka gelembung-gelembung keuntungan di pasar modal akan pecah berantakan seperti yang sekarang ini terjadi.
Oleh karena itu, kami menuntut:
1. Menolak keputusan pemerintah (SKB 4 Menteri) yang secara nyata akan mengorbankan jutaan kaum buruh dan berdampak pada jutaaan rakyat miskin lainnya yang hidupnya tergantung pada seberapa besar upah yang di dapat oleh kaum buruh (pedagang kecil, ojek, supir angkutan, pemilik kontrakan dan lain sebagainya)
2. Menolak segala keputusan “penyelesaian” krisis yang merugikan mayoritas rakyat (seperti penalangan kerugian pengusaha oleh pemerintah, pencabutan subsidi, pemotongan upah, peningkatan pajak bagi mayoritas rakyat, penggunaan system kerja kontrak dan outsouching dan pelarangan pemogokan atau demonstrasi).
Kami juga menyatakan :
1. Penyelasaian krisis di Indonesia harus dilakukan dengan cara-cara radikal, yaitu :
a) Menasionalisasi perusahaan-perusahaan swasta besar (baik yang dimiliki oleh modal internasional maupun oleh Pengusaha Indonesia) terutama Pertambangan, Energi dan Perbankan dengan mobilisasi politik klas buruh dan rakyat miskin, serta di bawah kontrol klas buruh dan rakyat miskin.
b) Membubarkan Pasar Modal, atau setidaknya mengenakan pajak bagi setiap transaksi yang terjadi di pasar modal (mengacu pada Negara Kuba yang mengenakan pajak 1 % untuk setiap transaksi).
c) Menolak pembayaran hutang luar negeri, dan Indonesia harus segera keluar dari lembaga-lembaga keuangan dan perdagangan Internasional yang hanya menguntungkan negara-negara induk kapitalis.
d) Dalam jangka pendek cara yang bisa di tempuh untuk melindungi kaum buruh dan rakyat miskin adalah melindungi pasar negeri dengan cara melarang import barang yang sudah bisa di penuhi oleh Industri dalam negeri atau mengenakan pajak import yang tinggi, menggunakan bahan baku dalam negeri, yang ketiga Pemerintah juga harus mengambil alih (dan menyerahkan kepada buruh) perusahaan-perusahaan (di sector riil) yang bangkrut dan memberikan modal (dari dana APBN) untuk menjalankannya kembali, yang keempat melakukan standarisasi upah layak secara nasional sebagai bentuk untuk meningkatkan daya beli.
2. Sudah saatnya, kaum buruh dan rakyat miskin Indonesia, mengambil inisiatif untuk menyelasaikan krisis ini, dengan cara menggantikan kekuasaan politik klas pemodal yang saat ini berkuasa di Indonesia (melalui Sisa Orde Baru, Tentara dan Reformis Gadungan), apalagi saat ini kekuatan politik pemodal itu tengah berusaha keras dengan berbagai cara (termasuk berpura-pura mendukung beberapa tuntutan kaum buruh dan rakyat miskin) untuk mendapatkan dukungan kembali melalui pemilu 2009 nanti.
3. Untuk tugas itu, maka dibutuhkan segera pembangunan persatuan seluruh kekuatan politik kaum buruh yang progressif bersama dengan kekuatan politik rakyat miskin lainnya, yang berskala nasional, yang terbangun di semua pusat-pusat perlawanan kaum buruh dan rakyat miskin, tanpa campur tangan dan tanpa kerja sama dengan kekuatan politik klas pemodal (dalam bahasa lain adalah politik mandiri non kooptasi, non kooperasi).
4. Persatuan-persatuan ini di arahkan untuk melakukan mobilisasi-mobilisasi polititis, baik yang bertujuan jangka pendek (seperti menolak SKB 4 Menteri) atau yang bertujuan jangka panjang, mengganti kekuasaan politik klas pemodal dengan kekuasaan klas pekerja dan rakyat miskin.
BUKAN PEMILU 2009, TAPI SOSIALISME SEBAGAI JALAN KELUAR!!
BANGUN PERSATUAN GERAKAN RAKYAT NON KOOPTASI-NON KOOPERASI, GULINGKAN KEKUASAAN
the mutes soliloquy
adalah sebuah cerita dari manusia di 'bumi manusia':
hidup ditengah sebuah peradaban yg dibangun dgn kekejaman & alienasi manusia oleh para tiran- ditengah kebisuan orang2 suci berTuhan yang bisu melihat penindasan & kezaliman penguasanya- tidak ada lagi keindahan & kedamaian-
The mutes soliloquy adalah sebuah ekspresi sikap otak dari kenyataan yang hanya tertuang lewat kata, karena; kata adalah senjata-
sungguh episode zaman yang melelahkan untuk diikuti,
apalagi tanpamu :'unminhasol'
Agar nanti jangan kau abaikan kata-kataku
Karena tidak bisa ku bicara
Maka aku lukis jiwaku dalam lembaran kertas ;dengan kata-kata…
karena tak kau beri ruang buatku
maka aku setubuhi jiwamu; dengan suara yang ku-sketsa-kan melalui kata-kata
karena juga asmaraku tiada nyata karenamu
maka aku akan membuat suara bisu dalam ruang sempit tak bebas nilai
tak bebas mencintaimu….!!
kebisuanku tertuang dalam kata-kata
Kau yang tak pernah menjawab pertanyaan dari lidah jiwaku
Kau yang bisu ketika bicara tentang asmara kita
Bisu seperti nestapa
Padahal kau tahu: adalah matahariku
Agar nanti jangan kau abaikan kata-kataku
Dengarkan kata-kataku
Dengarkan dengan fikiran dan hatimu
Agar nanti jangan kau abaikan kata-kataku
Karena suaraku akan semakin lantang meskipun dalam kematian
Ingat sayangku:
Agar nanti jangan kau abaikan kata-kataku
Orang Golput Orang Bijak
Golongan putih (golput) yang digagas oleh Arief Budiman dan kawan-kawan tahun 1972 kini menemukan gemanya kembali. Dari beberapa pemilihan kepala daerah (pilkada) golput tidak tersisihkan dari peringkat pertama perolehan suara. Mari kita lihat faktanya.
Golongan putih memenangkan pilkada Jawa Timur yang digelar pada 23 Juli lalu. Berdasar hasil final penghitungan suara, golput (golongan putih) "meraih" 327.037 suara. Daftar pemilih tetap (DPT) 809.100. Berarti, warga yang tidak menyalurkan hak politiknya mencapai 40,42 persen (VHRmedia.com). Dalam pilkada Sumatera Utara golput memperoleh suara sebesar 5 juta orang atau 43 persen. Hasil rekap suara pemilihan kepala daerah Kalimantan Timur yang dilakukan KPUD Balikpapan menunjukkan hasil yang mencegangkan. Setidaknya 50 persen suara dari para pemilih di Tingkat II Kabupaten/Kota Balikpapan memilih golput (okezone.com). GOLPUT menang di pilkada Jabar. Sebesar 34,67 persen (Kompas.com).
Tentunya fenomena ini membuat semua jajaran partai garut-garut kepala. Mereka dipusingkan karena gagal duduk di kursi-I di daerah. Sementara itu mereka sudah menghamburkan begitu banyak uang mulai dari masa pra-kampanye sampai proses pencoblosan suara. Bahkan ada satu calon yang kalah dalam pilkada mendapat predikat baru: orang gila. Yuli, nama sang calon, kalah dalam pemilihan bupati Ponorogo periode 2005-2010. Tidak sekedar kalah, Yuli juga terbelit utang. Yuli meminjam uang hingga hampir Rp 3 miliar. Setelah dinyatakan kalah oleh KPUD Ponorogo, Yuli pun mendapatkan tagihan pinjaman bertubi-tubi. Ia tidak bias membayarnya. Tingkah lakunya mulai aneh-aneh. Ia mulai cengar-cengir sendirian tanpa alas an. Kadang-kadang berteriak histeris. Bahkan, ia turun ke jalan raya sambil berteriak menirukan gaya yang ia gunakan semasa kampanye dengan hanya mengenakan celana dalam (Media Indonesia, 11/8). Ternyata golput cukup berhasil “menggilakan” sang calon kalah.
Kenapa harus golput?
Slogan yang dipampang oleh KPU di depan kantornya adalah Orang Bijak Tidak Golput. Butuh kehati-hatian dalam mengeluarkan sebuah slogan. Slogan inilah yang dibaca oleh masyarakat luas. Masyarakat yang sudah mengerti tentang esensi sebuah pemilihan umum tentunya akan tahu bahwa slogan tersebut harus dipertanyakan kebenarannya.
Lantas timbul pertanyaan, mengapa orang golput? Atau pertanyaan ini bisa disandingkan dengan pertanyaan, untuk apa pemilihan umum?
Kita kembali ke gerakan yang dicetuskan oleh Arief Budiman dan kawan-kawan. Mereka memrotes pemerintah Orde Baru saat itu karena melarang Masyumi dan PSI berdiri. Saat itu ada pemaksaan bagi rakyat untuk memilih Golkar. Kemudian mereka mengeluarkan semacam “manifesto golput”. Ada beberapa hal yang terkandung di manifesto tersebut.
Golongan putih bukanlah sebuah atau suatu organisasi. Golput ada karena protes terhadap pemerintah karena telah menginjak-injak aturan permainan demokrasi oleh partai politik. Golput tidak melanggar hokum. Golput ada justru utnuk menguatkan kekuatan hukum. Golput harus dilihat sebagai pendidikan politik bagi masyarakat. Tujuannya untuk membuat orang berpikir kritis. Penguasa tidak berhak memaksakan rakyat untuk menggunakan hak suaranya. Pendirian yang berlainan dengan pendirian penguasa harus dilindungi supaya tradisi berdemokrasi yang sehat senantiasa terpelihara.
Pemilu 2009
Kita memulai dari sebuah pertanyaan untuk menyambut pemilihan umum (pemilu) 2009: apa yang bisa diharapkan dari pemilu 2009?
Setelah Soeharto lengser Indonesia memasuki babak baru dalam berdemokrasi. Kotak Pandora yang selama ini tertutup rapat pelan-pelan terbuka. Dalam keterbukaan itu kita belajar merangkak, berjalan, dan bahkan suatu hari nanti berlari dalam menggunakan demokrasi sejati. Beberapa undang-undang baru pun dibuat. Salah satunya adalah undang-undang pemilu. Rakyat yang tadinya memilih pemimpin mereka bagaikan membeli kucing dalam karung, kini sudah bisa memilih sesuai dengan pilihan mereka sendiri. Pemilu pertama (2004) dimana rakyat memilih langsung pemilihnya pun dilaksanakan. Partai-partai “bebas berdiri”. Masyarakat mencoblos sesuai pilihan mereka. Kita kemudian mendapatkan pemenang: Susilo Bambang Yudhono berpasangan dengan Jusuf Kalla.
Rakyat menaruh harapan yang begitu besar kepada mereka. Krisis ekonomi yang belum juga berakhir menghancurkan penghidupan sebagian besar rakyat Indonesia. Pemerintah baru berjanji akan mengangkat kaum miskin dari posisi “permanen” yang sudah teramat lama mereka diami.
Di awal pemerintahannya rakyat terkejut bukan kepalang. Tiga bulan setelah memerintah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak. Jumlah penduduk miskin bertambah. Pemerintah menggunakan kebijakan sepihak tanpa merasa perlu mengetahui kondisi objektif rakyat seperti apa. Jurang antara orang kaya dengan orang miskin semakin menganga bagaikan jurang tak terseberangi. Daya beli masyarakat menurun drastis. Tingkat pengangguran yang dijanjikan akan diminimalkan jumlahnya ternyata menempuh jalan buntu. Masyarakat kesulitan untuk mengakses pendidikan bermutu. Biaya berobat harganya selangit. Seabrak persoalan inilah yang membuat masyarakat bertanya: kok beda ya kenyataannya dengan jani manis semasa kampanye? Pemerintah terkesan menutup semua perangkat untuk mendengar aspirasi yang berkembang di masyarakat.
Kejadian yang sama berulang kembali di tahun 2008 pemerintahan SBY-JK. Harga BBM naik lagi. Masyarajat yang di tahun 2004 sudah jatuh dari garis kemiskinan kini menempati posisi yang baru: masyarakat miskin tertimpa garis. Menjelaskan kondisi ini cukup dengan membuka mata dan hati nurani, maka kita akan melihat begitu transparan betapa kehidupan ini bukanlah kehidupan untuk sebuah bangsa yang sudah “merdeka.”
Sebentar lagi “kita” akan menyelenggarakan pemilu. Rakyat kembali memainkan perannya sebagai “rakyat” yakni peserta pencoblos suara di bilik suara sekali dalam lima tahun. Apa yang kita harapkan dari pemilu 2009?
Arief Budiman pernah berkata bahwa demokrasi Indonesia telah kembali. Namun, demokrasi ini hanya memberikan kita kesempatan memilih politisi busuk. Sampai detik ini kita belum menemukan calon-calon baru yang lebih muda. Semua yang sudah mendeklarasikan dirinya maju di pemilihan presiden mendatang berasal dari generasi 4L: lho lagi lho lagi. Sekedar menyebut beberapa nama, Sutioso, Gus Dur, Megawati, Amien Rais. Semua mereka sudah berkepala enam. Artinya mereka sebentar lagi akan memasuki era pensiun dalam kemampuan untuk berkarya. Kita tidak melihat perubahan mendasar yang mereka lakukan semasa mereka berkuasa. Kehidupan rakyat tidak kunjung membaik.
Partai politik yang mencalonkan mereka cenderung untuk mendukung habis-habisan segala kebijakan yang dikeluarkan sekalipun itu sangat menyakitkan hati rakyat. Partai politik tidak memiliki tanggung jawab terhadap konstituen yang memberikan calon. Partai sama sekali tidak merepresentasikan kepentingan rakyat. Partai sama sekali tidak mampu menyediakan pemimpin alternatif yang pro-perubahan.
Dengan demikian golput menjadi halal karena memang materi yang tersedia untuk kita pilih sangat terbatas, tidak berbobot, ada di bawah standar, dan tidak bermutu. Kita tidak mau memilih para politi busuk yang gemar korupsi, pelanggar HAM, perusak lingkungan, pengguna narkoba, pelaku kekerasan terhadap perempuan, dan juga dewan bersih namun tidak menunjukkan kinerja apa pun.
Golput di pemilu mendatang kita maknai sebagai aksi protes terhadap partai dan juga calon-calon seperti yang sudah dikemukakan di atas. Fadjroel Rahman mengatakan bahwa kita tidak cukup hanya golput saja tanpa berangkat dari kesadaran bahwa demokrasi itu mengandung kebebasan sejati. Kita harus memilih sebagai golput aktif. Golput aktif artinya menyumbangkan kemampuan intelektual, membantu menyebarkan informasi, demonstrasi, diskusi, seminar, kampanye di media massa, dan lain-lain. Golput merupakan mosi kepercayaan terhadap masa depan demokrasi, sekaligus mosi terhadap partai politik maupun capres-cawapres yang ditawarkan. Yah, ternyata orang bijak lebih memilih golput. ***
Budaya Perlawanan ; Mari BerLawan…!!
Annaz Ramadhan
Sebelum tahun 1965, ada dua kelompok besar yang bertentangan dalam menilai sastra/kebudayaan/kesenian di Indonesia. Yaitu ada LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang mengusung Seni untuk Rakyat, Politik sebagai Panglima dan Realisme Sosialis yang selalu membumikan budaya kritis dan budaya perlawanan terhadap kekuasaan sang Tiran. Kelompok yang kedua adalah dia yang menamakan diri sebagai Manikebu (Manifesto Kebudayaan).
Para kaum Manikebuis ini selalu mengusung Seni untuk Seni dan Humanisme Universal. Yang oleh Pramoedya Ananta Toer—tokoh Realisme Sosialis Indonesia—mengatakan bahwa pertarungan antara dua kubu itu diistilahkan sebagai “perang babad Lekra” yang berlangsung tahun 1959 – 1965. Artinya adalah, perseteruan dari dua kubu tersebut sangat berpengaruh pada perkembangan kebudayaan dan sastra Indonesia. Antara kedua kubu tersebut, dengan sendirinya telah memberikan idiom-idiom penting yang sering kali dijadikan patokan ideologis dan garis politik individu atau suatu organisasi dalan berkesenian. “Perang” yang tidak adil ini memang dimenangkan oleh kubu Manikebu.
Dan dari situlah kemudian tulisan ini dimulai.
Sejarah telah mengajarkan pada kita tentang makna penindasan dan akhirnya tidak bisa tidak, kita harus melawan. Itulah yang terjadi dengan Indonesia setelah tahun 1965, sejarah yang diajarkan dengan control dan represifitas, dibawah kekuasaan orde baru, yaitu kekuasaan ditangan kolaborasi militer-kapital. Penetrasi kekuatan modal yang datang menjadikan semua sistem politik, hukum, ekonomi juga sosial berada dalam kungkungan terali bernama orde baru. Begitu juga dengan kesenian/kebudayaan yang dianggap membahayakan kekuasaan orde baru, diberangus dari atas bumi manusia, tidak hanya dengan itu, pemutarbalikkan fakta telah diwacanakan orde baru untuk menghancurkan kesadaran rakyat sehingga kerajaan orde baru berdiri kokoh tanpa ada budaya kritis dari rakyat. Seketika itu juga, tidak lama setelah “kerajaan” orde baru berkuasa, maka gerakan kesenian rakyat mengalami kehancuran dan mendapatkan represifitas dari tentara-tentara fasis. Semua unsur yang terkait dengan kesenian rakyat/kiri dibantai tanpa ampun. Unsure-unsur kiri dimusnahkan, baik orang-orangnya, politiknya/kesadarannya, dan juga kebudayaannya.
Sastra dan kebudayaan di Indonesia yang merupakan hasil dari proses revolusi nasional, mencapai kematangannya pada tahun 1950 – 1965. Artinya pada tahun-tahun itu, kebudayaan dan sastra di Indonesia telah menemukan karakternya untuk berkembang menjadi kebudayaan yang tak terpisah dengan rakyat. Karena didukung juga oleh kondisi obyektif dari kemajuan gerakan rakyat saat itu, gerakan rakyat yang benar-benar sadar akan ketertidasan ekonomi-politiknya. Kesadaran yang merangkak maju tersebut dapat dijadikan sebagai faktor perkembangan seni dan budaya. Ungkapan dari Soekarno yang berbunyi : Go To Hell With Your Aid” akan menjadi semangat untuk melakukan bentuk perlawanan yang lebih maju. Semangat yang diajarkan oleh Soekarno adalah semangat pembebasan dari imperium modal dan kolonailisme. Indonesia pra revolusi nasional telah melahirkan manusia-manusia pembebas. Sebut saja TirtoAdhi Soeryo, Pramoedya, Semaun adalah tokoh-tokoh yang mempunyai keteguhan sikap untuk tidak terkooptasi oleh kekuasaan colonial pada zamannya. Begitu juga dengan Max ‘Multatulli’ Havelaar yang mencoba berpropaganda—agar rakyat bangkit melawan—dengan tulisan-tulisannya yang berbahasa Jawa.
Begitu juga dengan Kartini : adalah seorang perempuan pemula yang mendobrak feodalisme Jawa yang berwatak patriarkis—lewat pemikirannya dalam korespondensinya kepada Stella Zehandelaar—juga layak untuk dijadikan pahlawan pada zamannya. Karenanyalah Kartini menjadi sumber inspirasi gerakan budaya pembebasan perempuan.
Djawa Dipa 1914, sebuah gerakan anti feodal Jawa yang berkembang menjadi gerakan anti kolonialisme Belanda; dilanjutkan dengan pergulatan Ki Hadjar Dewantara membangun Taman Siswa, gerakan pendidikan modern yang berbasiskan kebudayaan bagi rakyat tertindas.
Kita bisa melihat keteguhan Mas Marco Kartodikromo, dalam petikan tulisannya :
Dalam pengertian Marxisme, kebudayaan adalah produk dari proses corak produksi pada tiap fasenya. Pada fase komunal primitif, perbudakan, feudal, capital dan komunal modern selalu akan menciptakan kebudayaannya masing-masing dengan watak dan karakter yang berbeda. Dalam rangka melakukan pembelaan terhadap si lemah/rakyat miskin/proletar, maka sebaik-baiknya memang harus memiliki keberfihakan yang jelas. Begitu juga dengan kebudayaan. Budaya haruslah dijadikan sebagai alat propaganda bagi pembebasan kesadaran manusia. Konsep budaya yang membebaskan adalah kebudayaan yang membela kepentingan klas tertindas. Dengan begitu, maka wujud dari budaya yang dihasilkan juga akan dengan sendirinya mewakili kepentingan klas tertindas yang akan mengakhiri kontradiksinya dengan berkuasa.
Beberapa fase dari perubahan corak produksi yang sudah ada, terlihat bahwa masing-masing corak produksi selalu menciptakan watak kebudayaannya sendiri. Patriarki adalah hasil karya paling sukses dari masyarakat feudal. Permasalahan patriarki sudah sangat mengakar-urat dalam otak manusia, bahkan sampai sekarang. Proses penyingkiran terhadap hak-hak fundamental perempuan untuk merdeka seakan dipertahankan oleh rezim secara terus menerus demi kepentingan modal. Perempuan dijadikan sebagai market share yang paling menguntungkan dengan pencitraan sosok tubuh perempuan yang didoktrinkan oleh system capital.
Kekuasaan modal menghancurkan seluruh sendi-sendi kehidupan manusia dan pemikirannya. Sejak 1966 s/d 1998, kebudayaan kiri/kritis/revolusioner hanya diketahui secara samar-samar oleh rakyat Indonesia, karena memang dihancurkan oleh orba, bukan cuma gerakannya, tapi juga sejarahnya, dihilangkan dari ingatan. Pembungkaman pemikiran/ide-ide yang beraliran Marxist menyebabkan budaya revolusioner menjadi “ghaib” dalam perwujudannya. Zaman kapitalisme telah menciptakan produk budayanya sendiri sesuai dengan logika modal mereka. Konstruksi pemikiran tentang konsumerisme pun didoktrinkan melalui media dengan membentuk opini masyarakat. Ujung-ujungnya adalah masyarakat sekarang terjerumus dalam kehidupan ganda yang aneh dalam memandang nilai ekonomis sebuah produk. Konsumsi yang tidak sesuai dengan nilai guna menjadi indicator keberhasilan dari doktrin budaya kapitalisme. Orang membeli karena prestice. Selain itu juga dalam persaingan pasarnya, para kapitalis menjadi rakus memakan semua pesaing-pesaingnya yang berasal dari golongan kecil, tidak manusiawi. Selain itu juga mereka menggunakan topeng agama sebagai alat pengesahan kejahatan. Institusi agama dijadikan fungsi legislasi bagi penindasan. Maka muncullah budaya konservatif atau fundamentalisme agama. Hal tersebut muncul dalam bentuk pelarangan-pelarangan berpendapat yang diamini oleh agamawan. Dengan dalil Tuhan, mereka mengharamkan gerakan yang bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah, gerakan kiri juga diberangus memakai legitimasi ketuhanan. Maka budaya kritis-pun menemukan musuh yang nyata.
Dari banyaknya budaya-budaya yang tidak membebaskan tersebut, menbuat masyarakat Indonesia menjadi hilang ingatan akan sejarah perlawanan bangsanya yang dulu sempat ada. Buah deri deideologisasi dan depolitisasi orba, maka menyebabkan masyarakat Indonesia memiliki watak yang mudah menyerah. Rakyat menjadi tidak memiliki kemandirian penuh, anti kontradiksi dan oportunis. Watak oportunis tercermin dalam tindakan politik para elite politiknya—juga gerakan “rakyat”nya—yang tidak anti kooptasi. Dimana factor-faktor tersebutlah yang sesungguhnya membahayakan gerakan demomkratik. Dengan kata lain, revolusi demokratik telah menemukan hambatan/musuhnya yang lain yang terbentuk karena budaya. Maka yang menjadi tugas utama dari gerakan yang revolusioner adalah menyingkirkan hambatan tersebut guna memuluskan jalan revolusi demokratik menuju sosialisme. Seperti kata Maxim Gorky : “Jika musuh tidak mau menyerah, maka ia harus dihancurkan”. Mengembalikan ingatan rakyat dari deideologisasi dan penghilangan ingatan selama 32 tahun lebih, menjadi pekerjaan yang teramat sukar, yang harus diupayakan secara radikal dan seluas-luasnya dalam propagandanya oleh gerakan pelopor. Terutama bagi para pekerja budaya yang sampai saat ini masih banyak yang berkarakter humanis tidak revolusioner. Pengupayaan propaganda kesadaran sejati yang dilakukan harus berada diluar syarat-syarat dari kapitalisme. Artinya adalah, harus memiliki watak yang anti kooptasi dan anti kooperasi—tidak oportunis—. Dari sekian banyak budaya perlawanan yang berhasil dimundurkan oleh rezim orba, ada satu bentuk budaya revolusioner yang mulai kembali sering dilakukan oleh rakyat, yaitu budaya aksi massa. Kemenangan kecil itu harus kita maknai sebagai capaian yang positif untuk bergerak maju. Dengan ruang yang sempit sekarang ini, budaya aksi massa bisa dijadikan sebagai alat propaganda yang efektif untuk menuntun rakyat meraih kepercayaan dirinya kembali, biar rakyat berani dan mampu membela dirinya sendiri dengan kekuatan massa—PERSATUAN—
Jika dilihat dari situasi yang berkembang saat ini, gerakan yang mengaku mewakili kepentingan klas tertindas pun sudah kehilangan arah ditengah gempuran budaya kapitalisme, mereka dengan mudahnya terkooptasi. Itu yang lebih membahayakan bagi proses perjuangan klas.
Mulai sekarang, rakyat harus berani bangkit membela dirinya sendiri. Organisasi yang maju dan massa yang progressif harus mampu memimpin gerakan rakyat dan kesadarannya (melalui kebudayaan). Mengapa demikian? Karena kita harus mampu melihat arti penting kerja kebudayaan bagi revolusi demokratik yang semakin menemui banyak hambatan. Berangkat dari kenyataan diatas dan juga pentingnya melihat bahwa perjuang kebudayaan harus mengambil sikap untuk ikut dalam garda depan penghancur faktor-faktor penghalang revolusi demokratik dan mempersiapkan kondisi yang mendukung pertumbuhan kebudayaan rakyat dengan kesadaran yang lebih tinggi, dalam rangka meluruskan kembali ingatan sejarah, memperbaiki kegagalan revolusi-revolusi sebelumnya, dan juga melakukan propaganda lewat kesenian yang kerakyatan.. Gerakan kebudayaan harus menjadi bagian dari kepemimpinan perjuangan klas, karena harus kita maknai juga bahwa revolusi sosialis haruslah juga merupakan revolusi kebudayaan. Dengan demikian perjuangan rakyat pun akan menemkan jalan yang lurus. Dengan adanya budaya yang berkesadaran palsu, maka kita harus mampu melihat apa saja yang menjadi factor penghambat pertumbuhan kebudayaan revolusioner. Seperti yang di ungkapkan Kawan Jubaar Ayub Sekjend LEKRA 1955 :
1.Tiadanya kesadaran, bahwa perjuangan rakyat terutama perjuangan buruh tani tidak mungkin dipisahkan dari perjuangan kebudayaan.
2.Sentimen terhadap segala seusatu yang berhubungan dengan kebudayaan sebagai akibat menyamaratakan kultur rakyat dengan kultur borjuis.
3.Tidak adanya dorongan dari gerakan rakyat, terutama gerakan buruh dan tani untuk memperhatikan masalah kultur.
4.Ketidakmampuan seniman rakyat sebagai pekerja kebudayaan rakyat untuk menarik garis kebudayaan rakyat dengan kebudayaan borjuis, meskipun kebudayaan rakyat sendiri memberikan bahan yang berlimpah-limpah.
5. Ketidakmampuan dari gerakan rakyat, terutama gerakan buruh tani dalam usaha menarik golongan inteligensia dan pelajar pemuda yang berpikiran maju ke dalam barisannya.
Dalam taktiknya, propaganda sosialisme lewat kebudayaan bisa dilakukan dengan berbagai macam bentuk, seperti puisi, lagu, cerpen, kethoprak, film dan berbagai bentuk berupa panggung rakyat yang mudah dipahami dan diakses rakyat. Bentuk kebudayaan yang mempunyai isian propaganda sosialisme akan tercermin dalam dua hal, yaitu politik kiri dan kebudayaan kiri. Politik kiri tercermin dengan sebuah tindakan yang anti kooptasi-anti kooperasi, konsisten, teguh pendirian, tidak anti kontradiksi. Sedangkan dalam kebudayaan kiri akan tercermin dalam tulisan-tulisan radikal, kata-kata yang progresif dan tindakan yang revolusioner. Perwujudan tersebut akan menjadikan rakyat memiliki pemahaman yang berkesadaran maju sehingga rakyat dengan sendirinya akan mendapati kepercayaan dan keberaniannya kembali lagi. Rakyat harus berani menuntut haknya, rakyat harus mau bergerak, kita harus bersatu. “Kalau mati harus dengan berani;kalau hidup juga harus dengan berani. Jika keberanian tidak ada, itu sebabnya semua bangsa bisa jajah kita” (Pramoedya Ananta Toer).