CITA-CITA FEMINISME MENGUBAH MASYARAKAT :)

Perempuan di Bolivarian Venezuela, bagian 1. :d
________________________
Perempuan dan Revolusi Bolivarian Venezuela
Sejarah Gerakan Perempuan Venezuela


Dengan jatuhnya kediktatoran Perez Jimerez tahun 1958, Venezuela, sementara itu, mulai berjalan menyongsong pembukaan ruang demokrasi yang masih rapuh dan tidak adil, karena pada prakteknya, demokrasi tersebut terbukti menjadi fenomena yang ekslusifi gender. Meskipun Konstitusi 1960 menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki secara formal setara di muka hukum, namun kaum perempuan yang selama ini aktif dalam perjuangan demokrasi merasa tak memiliki hak-hak khusus, bahkan disingkirkan dari politik.

Pada Seminar Pertama Evaluasi Perempuan Venezuela 1968, kaum perempuan menilai capaian yang sudah mereka peroleh sejak kemenangan hak suaranya di tahun 1947; menegaskan kembali tujuannya; dan mendapati bahwa sedikit sekali kesempatan bagi mereka untuk mendorong reformasi sosial maupun hukum berbasis gender tanpa mendirikan sebuah institusi formal di dalam pemerintahan. Sejak kaum perempuan mulai terorganisir di dalam masayarakat sipil, persaingan para pendukung antar dua partai dominan di masa itu, yaitu COPEI dan ADii, pada prinsipnya terus melayani kepentingan klas, sehingga menghambat perkembangan kelompok-kelompok lintas klas, serta menghalangi perkembangan kesadaran gender.

Selain hambatan-hambatan organisasional, kaum perempuan Venezuela juga dihambat oleh sanksi, hukum perdata, dan ketenagakerjaan. Kaum perempuan yg hidup bersama dan sudah menikah tidak diperbolehkan mengatur urusannya sendiri; membuat keputusan bagi anak-anaknya; bekerja, memiliki harta; atau menandatangani dokumen resmi tanpa persetujuan pendamping.

Upaya-upaya kaum feminis Venezuela mengorganisasi gerakan perempuan dan menciptakan arena institusional untuk memajukan hak-hak perempuan, bersamaan dengan meningkatnya kesadaran internasional dan kemajuan agenda-agenda feminis. Pada tahun 1967, PBB menghasilkan Deklarasi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan. Tiga tahun kemudian Program Kesatuan Aksi Internasional untuk Kemajuan Perempuan ditetapkan. Tahun 1974 dideklarasikan sebagai Tahun Perempuan Internasional. Terinspirasi dari semua pencapaian ini, serta serangkaian konferensi internasional yang disponsori oleh PBB tahun 1975, 1980 dan 1985, yang dikenal sebagai Dekade Perempuan Internasional, kaum feminis mengambil manfaat dari iklim internasional yang sedang kondusif itu untuk mendorong isu-isu perempuan agar menjadi perhatian publik; mempengaruhi pemerintah untuk membuat rekomondasi-rekomendasi rancangan kebijakan yang ditujukan untuk memajukan kesetaraan perempuan dalam bidang sosial, politik dan ekonomi; serta melahirkan beberapa organisasi perempuan seperti Lingkaran Feminis Kerakyatan (Circulos Feminininos Populares). Disamping berbagai capaian ini, kelompok-kelompok perempuan masih terus menghadapi kendala-kendala yang berat, seperti terbatasnya alokasi sumber daya dan ancaman tertelan oleh arus politik partisan.

Sementara isunya semakin terbuka untuk diperdebatkan, terdapat sebuah hubungan sebab akibat yang penting yang berkelit-kelindan antara kemunculan sebuah gerakan perempuan yang aktif di awal 1970an dengan boom minyak, yang telah meningkatkan pendapatan fiskal tiga kali lipat antara tahun 1972-1975. Meskipun fokus utama Presiden Carlos Andrés Pérez, kemudian, (1973-1978) adalah ekspansi ekonomi, ia juga mengalokasikan dana yang besar untuk peningkatan kesejahteraan sosial. Sebagai hasilnya, dibentuklah lembaga perempuan negara yang pertama, Commission Feminina Asesora de la Presidencia (COFEAPRE), yang didirikan tahun 1974.
Inisiatif pemerintah ini menjadi katalisator bagi konsolidasi gerakan perempuan serta dalam memberikan landasan bagi mereka yang akan melanjutkannya. Meskipun COFEAPRE menerima sedikit dana dan tidak pernah diberi posisi di dalam kementerian umum, namun ia menyediakan sebuah ruang bagi perdebatan untuk memajukan isu-isu perempuan di dalam pemerintahan serta membangun kepedulian akan pentingnya organisasi-organisasi berbasis gender.

Kebangkitan negara minyak dan cepatnya pertumbuhan ekonomi juga menciptakan lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja, dan perempuan pun dituntut untuk mengisi lapangan tersebut. Di tengah meningkatnya akses terhadap pendidikan dan kesempatan kerja profesional, kaum perempuan bersatu lintas kelas di dalam apa yang dikenal sebagai Strategi Bersatu dalam Perbedaan, mengorganisir Kongres Perempuan Venezuela yang pertama pada tahun 1974, dan memaksimalkan kekuatan baru mereka sebagai sebuah ‘persediaan blok suara’.

Runtuhnya ‘La Gran Venezuela’

Ketika harga minyak kolaps diawal tahun 1980an, proyek pembagunan ekonomi Presiden Pérez, ‘La Gran Venezuela’iii, juga runtuh. Pendapatan yang dialokasikan untuk pelayanan sosial menipis dan pembedaan yang kentara, yang disebabkan oleh ketimpangan ekonomi dan sosial juga semakin telanjang. Meskipun dengan banyak keterbatasan, yang antara lain disebabkan oleh ketiadaan dana dan staf full-time, Kementerian Partisipasi Perempuan dalam Pembangunan, yang menggantikan COFEAPRE di tahun 1978, berhasil memobilisasi perempuan lintas kelas dan spektrum politik untuk mereformasi hukum perdata di tahun 1982. Reformasi Hukum Perdata telah meningkatkan posisi hukum kaum perempuan di Venezuela, tetapi, seperti yang dinyatakan oleh Profesor Elisabeth Friedman, “reformasi yang diwacanakan dengan indah tersebut... pada prinsipnya menyembunyikan lembaga feminis yang kontroversial dibalik pembenaran hak-hak keluarga ( ketetapan tersebut menghendaki demokrasi di dalam keluarga, bukan kesetaraan perempuan).”

Pada tahun 1985, Kordinator NGO Perempuan (CONG), sebuah organisasi payung yang menyatukan 26 kelompok perempuan, memberikan kaum perempuan sebuah platform untuk memajukan isu-isu perempuan keluar dari lingkup partai politik tradisional. Dalam masa lima tahun ke depan, organisasi tersebut tak hanya meningkat berlipat ganda tetapi juga sukses menyatukan kaum perempuan dari berbagai spektrum partai politik, etnis dan klas. Mungkin pencapaian CONG yang paling signifikan adalah kontribusi mereka terhadap pembuatan rancangan Reformasi Hukum Perburuhan tahun 1990.

Gerakan perempuan terpecah disepanjang garis-garis kelas pada awal tahun 1990an karena dua alasan. Orang boleh jadi berpendapat bahwa pertama, secara tidak langsung, sebagai produk dari krisis ekonomi. Antara tahun 1985 dan 1986, harga minyak jatuh lebih dari setengahnya; pada awal 1990an, jatuh menjadi setengahnya lagi. Tingkat kemiskinan di negeri yang sebelumnya dinyatakan sebagai salah satu dari negeri yang memiliki pertumbuhan GDP tercepat dan tertinggi di Amerika Latin, meningkat lebih dari 60%, dari 17,7 pada tahun 1981 menjadi 78% di tahun 1997, dan World Bank menyatakan Venezuela sebagai negara dengan tingkat ketimpangan tertinggi dibandingkan negeri-negeri Amerika Latin lainnya. Sebagai kelanjutan dari penurunan standar hidup yang sangat tajam, kaum perempuan klas menengah dan klas pekerja menghadapi kesulitan keuangan yang terus meningkat serta semakin sedikit waktu untuk berpartisipasi dalam masyarakat sipil. Kedua, reformasi Hukum Perburuhan, yang pada awalnya bermaksud untuk memberikan jaminan kesetaraan hukum antara pekerja perempuan dan laki-laki, hanya disetujui secara parsial. Ketentuan-ketentuan bagi para pekerja domestik tidak dimasukkan dalam reformasi itu, oleh karenanya, mempersatukan perempuan dengan laki-laki kelas pekerja dalam perjuangan untuk peningkatan upah serta hak-hak kaum pekerja lainnya.

Ketidakcocokan berbasis klas di antara gerakan perempuan membawa mereka pada pembentukan kelompok-kelompok dengan agenda-agenda yang eksklusif dan sempit seperti isu-isu HAM, aborsi atau lingkungan. Antara tahun 1992 dan 1998, kaum feminis di dalam birokrasi memiliki posisi yang lebih kuat dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan, secara terhormat, membuat kemajuan di legislatif, meskipun norma-norma sosial masyarakat secara keseluruhan belum berubah. Carlos Andrés Pérez mendirikan Dewan Perempuan Nasional (CONAMU) pada tahun 1992, yang merupakan alat untuk mendorong legislasi. Pada tahun 1993, Undang-undang Kesempatan yang Sama bagi Perempuan disahkan, dengan mendirikan Institut Nasional untuk Perempuan. Pada tahun 1997, UU Hak Suara Perempuan disahkan, yang menghendaki 30% perempuan sebagai kandidat partai. Kurang dari setahun kemudian, di tahun 1998, disetujui Undang-undang mengenai Kekerasan terhadap Perempuan dan Keluarga yang merupakan sebuah inisiatif yang sudah dimulai sejak tahun 1995.

“Revolusi ini Sudah Membangunkan Kaum Perempuan”- Maria de Mar Alvarez

Perjuangan hak-hak perempuan telah memasuki suatu makna baru di dalam Revolusi Bolivarian. Dengan terpilihnya Hugo Chávez Frías di tahun 1998, Venezuela mengajukan sebuah demokrasi yang berlandaskan partisipasi, ketika hak-hak rakyat tidak didefinisikan semata-mata politis melainkan juga keadilan sosial dan kesetaraan. Sebagian besar perempuan berharap pada revolusi ini, mengabdikannya untuk menghancurkan ‘demokrasi’ formal yang kaku dan ekslusif, sebagai sebuah permulaan dari fase baru dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Fokusnya tidak lagi pada perjuangan hak-hal hukum formal dan kekuasaan politik, melainkan mengubah keseluruhan struktur masyarakat.

Salah satu tindakan pertamanya sebagai presiden, Chávez meminta Majelis Konstituante merancang sebuah Konstitusi baru yang akan berfungsi sebagai katalisator untuk mengubah struktur masyarakat Venezuela yang stagnan dan eklusif. Ribuan perempuan, termasuk kaum feminis, mantan gerilyawan, ibu-ibu rumah tangga, para profesional, dan anggota organisasi-organisasi seperti Kaum Perempuan untuk Venezuela (Women for Venezuela) dan Persatuan Pemimpin Perempuan (United Women Leader) membentuk Front Perempuan Konstitusional untuk Pergerakan Republik Kelima (FCMMVR) yang mendidik dan mengorganisai kaum perempuan untuk merancang berbagai tuntutannya agar dicantumkan di dalam Konstitusi serta memajukan calon feminis ke dalam Majelis Konstitusional. Dengan lolosnya Konstitusi Baru pada tanggal 15 Desember 1999, kaum perempuan Venezuela memperoleh dua kemenangan sosial politik yang luar biasa, sekaligus sebagai konstitusi yang paling maju di dunia.

Konstitusi Venezuela, yang sering dirujuk sebagai Magna Carta yang tidak seksis, menjamin keseluruhan hak-hak sosial, politik, dan ekonomi seluruh rakyat. Konstitusi tersebut dengan jelas menyatakan bahwa perempuan berhak atas kewarganegaraan penuh, dan mengatur mengenai diskriminasi, pelecehan seksual, serta kekerasan domestik. Lebih jauh lagi, untuk menjamin kesetaraan penuh antara perempuan dan laki-laki di tempat kerja, inilah satu-satunya Konstitusi di Amerika Latin yang mengakui pekerjaan rumah tangga sebagai aktitivas yang produktif secara ekonomi, sehingga memberikan ibu rumah tangga hak untuk mendapatkan jaminan sosial (pasal 88). Dengan menjadikannya sebuah kerja yang sebelumnya tidak diakui bernilai ekonomi, Venezuela sedang menghancurkan norma-norma sosial kemasyarakatan dan ideologi kapitalis yang secara ekslusif menumpuk nilai dari memproduksi pendapatan.

María León, presiden Institut Nasional untuk Perempuan (INAMUJER), menegaskan, ”Konstitusi kami mempercepat perjuangan melawan diskriminasi terhadap manusia, dan karenanya mencakup mekanisme perlindungan bagi semua kelompok sosial,” dan ia menambahkan bahwa “Pasal 88 adalah contoh yang diikuti oleh semua negeri dalam perjuangan mereka untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan”.

Konstitusi Venezuala (Pasal 76) juga mengakui hak-hak reproduksi dan seksual kaum perempuan dan mewajibkan negara untuk menjamin agar dokter memberikan informasi akurat mengenai keluarga berencana. Pasal tersebut mengakui fungsi sosial ibu dan menjamin perawatan kesehatan bagi ibu, dari mulai konsepsi hingga paska kelahiran. Pasal 75 menyatakan bahwa hubungan keluarga didasarkan pada kesetaraan hak dan kewajiban, dalam solidaritas, dalam kesepahaman serta saling menghormati.

María León menekankan bahwa satu dari pencapaian terbesar gerakan perempuan serta masyarakat secara keseluruhan, adalah, meleburnya seluruh perspektif gender dan bahasa non-seksis di semua bagian Konstitusi. Bahasa Spanyol, seperti halnya semua bahasa-bahasa Barat (kecuali Inggris), membedakan versi maskulin dan feminin pada jabatan pekerjaan, seperti “presidente” (presiden laki-laki) dan “presidenta” (presiden perempuan). Kini, setiap kali ada penyebutan bagi seorang presiden, seorang warga negara, seorang wakil parlemen, seorang menteri dst, penyebutannya mengacu baik pada bentuk-bentuk maskulin maupun feminin.

Menyadari bahwa bahasa tidaklah netral atau polos, bahwa ia menghantarkan ideologi masyarakat, dan bahwa sebuah bahasa yang macho (machismo) melestarikan sebuah budaya yang macho pula, Venezuela telah mengambil satu langkah maju dalam mengapuskan maskulinisme yang menghambat kesetaraan penuh antara perempuan dan laki-laki ini. Adalah penting untuk menjelaskan kepentingan maskulinisme ini terhadap bahasa, karena jika apa yang kita katakan merupakan sebuah refleksi dari apa yang kita fikirkan, artinya kita tidak akan merubah cara kita berfikir atau cara kita melihat hubungan gender tanpa merubah bahasa yang kita gunakan. Dengan kata lain, jika kita memilih untuk terus berbicara dengan cara-cara yang menyingkirkan perempuan, kita tidak akan pernah menganggap mereka setara.

Seringkali berbagai komentar dikuti oleh reaksi seperti “tapi ketika saya berkata niños (anak laki-laki) saya merujuk baik pada anak laki-laki maupun anak perempuan”, atau “mengubah bahasa kita tidak akan mengubah realitas kaum perempuan”. Benar, bahwa ia tidak akan mengubah realitas perempuan dalam semalam, tetapi ini merupakan sebuah langkah penting. Daripada menggunakan bahasa atau berbudaya dengan cuma-cuma, menerimanya tanpa mau merefleksikannya, Konstitusi Bolivarian lebih memilih mengubah cara kita berbicara mengenai perempuan, dan kemudian cara kita memandang perempuan, cara kita memperlakukan perempuan, dan memposisikan mereka di dalam masyarakat.

María del Mar Alvarez, Pembela Hak-hak Perempuan Nasionaliv, menekankan,” Kaum perempuan sudah dengan luar biasa berpartisipasi dalam revolusi ini. Kita sudah mendapatkan sebuah konstitusi yang menjadi sebuah model bagi dunia untuk keadilan dan kesetaraan. (Konstitusi itu) telah memberdayakan mereka. Biasanya feminisme hanya mengakomodasi kelas atas dan kelas menengah. Namun demikian, revolusi ini telah membangunkan kaum perempuan, dan, feminisme telah menjangkau sektor-sektor rakyat (yang tertindas). Kini semua perempuan paham bahwa mereka punya hak untuk berpartisipasi.”

Kemajuan yang Sudah Dihasilkan

Sejak Konstitusi baru diberlakukan, kaum perempuan memainkan peran kunci—baik di pemerintahan maupun di NGO—dalam merancang, memajukan, dan mereformasi berbagai susunan UU di berbagai bidang, termasuk, namun tak terbatas pada: kesehatan, pendidikan, lingkungan, reforma agraria, hak-hak masyarakat pribumi, dan hak-hak reproduksi. Partisipasi perempuan dalam masyarakat sipil sebagai instrumen yang menjalankan kampanye publik guna meningkatkan kesadaran perempuan terhadap isu-isu perempuan serta merumuskan program-program bagi perempuan.

Menurut María León, perjuangan bagi hak-hak perempuan di Venezuela telah mencapai suatu makna baru di dalam Revolusi Bolivarian. “Kita memiliki presiden yang mengerti persoalan-persoalan perempuan. Chávez sudah mendukung organisasi ini dengan program-programnya. Ia tak berhenti bicara mengenai persoalan-persoalan perempuan. Untuk pertama kalinya, kita menjadi isu sosial. Dalam pidato-pidato dan setiap pertemuan dengan Chávez selalu dipenuhi oleh kaum perempuan, bahkan kenyataannya, lebih banyak perempuan dari pada laki-laki. Ketika presiden kita bicara, ia berkata Venezolanos y Venezolanas (laki-laki Venezuela dan perempuan Venezuela). Kaum perempuan mengakuinya sebagai pemimpin. Orang dapat melihat sendiri bahwa ada lebih banyak perempuan yang aktif berpartisipasi di dalam revolusi ini dibandingkan laki-laki.”
Mercedez Aguilar, bagian dari Komite Eksekutif INAMUJER, juga menekankan peran penting perempuan di dalam revolusi ini. Menurutnya, kaum perempuan berperan aktif, bahkan dalam beberapa kasus, lebih aktif dari rekan seperjuangan laki-lakinya. Mayoritas rakyat yang berpartisipasi dalam misi-misi, aktivitas-aktivitas politik dan komunitas, adalah kaum perempuan.

Meskipun perempuan dengan sungguh-sungguh berpartisipasi dalam politik, mereka masih kurang terwakili di dalam posisi-posisi kepemimpinan di pemerintahan. Beberapa tahun belakangan ini terdapat peningkatan partisipasi kaum perempuan yang lumayan di dalam pemerintahan, contohnya, dari 131 anggota Majelis Konstitusional Nasional, 16-nya adalah perempuan. Namun demikian, pada posisi tertinggi masih terdapat kesenjangan yang memprihatikan antara anggota perempuan dan laki-laki. Mulanya Chávez tidak mengangkat satu perempuan pun di pemerintahannya. Namun, pada tahun 2000 ia mengangkat sejumlah perempuan untuk duduk di kabinetnya serta beberapa pos penting lainnya.

Institut Nasional untuk Perempuan

Pada tahun 2000, Chávez mengubah CONAMU menjadi Institut Nasional untuk Perempuan (INAMUJER) lewat Instruksi Presiden berdasarkan UU Kesempatan yang sama Bagi Perempuan (pasal 44) dan mengangkat María León, seorang pimpinan aktivis hak-hak perempuan, mantan pejuang gerilya, dan mantan direktur CONAMU, sebagai direkturnya. INAMUJER saat ini sedang dalam proses mendidik kaum perempuan untuk membela hak-hak politik yang sudah mereka terima, dan meluaskannya dalam rangka mencapai sebuah masyarakat demokratik sejati, yang tidak hanya secara politik, namun juga secara sosial dan budaya dimana kaum perempuan dan laki-laki dinilai setara. “Feminisme sedang menjangkau sektor-sektor rakyat (yang tertindas—ed),” María del Mar Alvarez menyatakan dengan suka cita di kantornya. “Biasanya, feminisme mengakomodasi kelas atas dan menengah serta tidak menjangkau sektor-sektor rakyat bawah. INAMUJER berkehendak untuk menyertakan kaum perempuan yang disingkirkan ke dalam wacana feminis.”

Untuk mencapai tujuan ini, INAMUJER mengorganisasi kampanye pendidikan seksualitas; hak-hak reproduksi; pencegahan kekerasan terhadap perempuan; dan mempublikasikan artikel dan buku-buku serta mendistribusikan materi-materinya, termasuk mencetak undang-undang, seperti UU tahun 1998 tentang Kekerasan terhadap Perempuan. Contohnya, pada bulan Maret 2004, INAMUJER menyelenggarakan tiga rangkaian lokakarya yang bertemakan “Hak Asasi Manusia Perempuan”, di mana organisasi-organisasi regional dan non pemerintah dari berbagai negara bagian seperti; Vargas, Miranda, Cojedes, Amozonas, Apure, Corabobo, Guarico, dan Caracas mempresentasikan program pendidikan HAM, hak seksual dan hak reproduksi juga hak-hak yang dielaborasi di dalam Konstitusi, serta berbagai perjanjian internasional. Lokakarya sebelumnya memfokuskan pada asal muasal kekerasan, sejarah gerakan perempuan, dan konsep-konsep seperti gender dan feminisme.

Organisasi tersebut juga membuat jalur telepon hotline bagi korban kekerasan domestik, sekaligus mendirikan rumah perlindungan, Casa de Abrigo bagi perempuan yang ketakutan di dalam hidupnya. Menurut Mercedez Aguilar, INAMUJER “memberikan 24 lokakarya selama setahun untuk mengajarkan perempuan hak-hak mereka, dan cara melaporkan kekerasan domestik.... Kami memberi dukungan dan perlindungan bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan.” Mereka juga melaksanakan program untuk mendidik kepekaan aparat-aparat kepolisian, pengacara, dan dokter terhadap isu-isu gender dan kekerasan domestik demi memastikan bahwa kaum perempuan menerima dukungan dan pelayanan yang dibutuhkannya.

Sebagai tambahan pendidikan kaum perempuan, INAMUJER juga mengawasi dan mengevaluasi kebijakan publik yang ditujukan pada kaum perempuan untuk menjamin ditegakkannya kesetaraan kesempatan serta memastikan Majelis Nasional mengunakan bahasa yang tidak seksis di dalam peraturan-peraturannya. Saat ini mereka terlibat dalam tiga kampanye. Bersama dengan jaringan pengacara, ilmuwan sosial, intelektual, dan feminis, organisasi merumuskan reformasi hukum dan perundangan yang kontradiktif dengan Konstitusi. Contohnya, mereka mempromosikan penghapusan Sistem Hukum Pidana dan merancang model lainnya yang berperspektif gender dan memastikan hak-haknya dijamin dalam Konstitusi. Mereka juga bekerja untuk mengamandemen Undang-undang Jaminan Sosial untuk memastikan bahwa Ibu Rumah Tangga dapat memperoleh dana pensiun mereka sebagaiman yang dinyatakan dalam pasal 88 Konstitusi.

Kampanye kedua berfokus pada perolehan posisi 50% dalam Komisi Pemilihan Umum Nasional, Majelis Nasional, dan pemerintahan, juga posisi lain yang dipilih dengan suara rakyat, agar berada ditangan perempuan. Saat ini hanya, “12% wakil perempuan di Majelis Nasional, sementara di Spanyol sudah mencapai rasio 50/50,” tegas María del Mar Alvarez. Rendahnya persentase perempuan di Majelis Nasional terkait dengan persoalan Undang-undang Hak Suara 1997, yang menghendaki minimum 30%. Kaum feminis di Venezuela, baik yang pro maupun anti Chávez, sangat kaget karena Chávez membiarkan ini terjadi.

Pada kampanyenya yang ketiga, INAMUJER mengajukan demokratisasi keluarga dalam rangka meringankan beban kerja sehari-hari kaum perempuan. María León menekankan, “Republik Bolivarian Venezuela hanya akan mempraktekkan demokrasi yang sejati jika kita turut mentransformasi rumah tangga menjadi sebuah unit yang sungguh-sungguh demokratisv.”

Institut Nasional untuk Perempuan baru-baru ini merayakan ulang tahunya yang kelima dengan mempresentasikan Rencana Nasional bagi Kesetaraan Perempuan 2004-2009, yang didesain untuk mencegah dan menghapuskan kekerasan terhadap perempuan; memastikan hak-hak perempuan serta akses untuk keadilan; memperkuat partisipasi perempuan di dalam politik dan masyrakat; serta mengembangkan dan melaksanakan sebuah rencana kesetaraan hak-hak ekonomi bagi perempuan.

Tujuan Akhir Feminisme adalah Merubah Masyarakat

Disamping pencapaian-pencapaian tersebut, berbagai lapangan kesulitan terbentang di depan. Feminisme di dalam Revolusi Bolivarian menghadapi 3 tantangan utama. Pertama, Revolusi Bolivarian sejauh ini memfokuskan pada perjuangan kekuasaan diantara ras dan kelas. Meskipun agenda feminis sementara ini masuk ke dalam perdebatan, namun masih harus berjuang untuk memperoleh perhatian yang sama pentingnya, seperti yang diberikan terhadap hubungan-hubungan kekuasaan di antara berbagai kelompok.

Kedua, dengan bermunculannya para ‘pakar’ studi gender di akademi dan lembaga-lembaga publik, juga masuknya segelintir kaum perempuan di dalam lembaga-lembaga politik yang cukup terpandang, kaum feminis harus memfokuskan diri untuk melegitimasi diri mereka di hadapan dunia kapitalis yang seksis, dan oleh karenanya pada tingkatan tertentu, kehilangan pegangan pada basis kerakyatannya. Perjuangan ini sebaiknya harus ditempatkan dalam konteks yang lebih luas yaitu keadilan sosial dan kesetaraan, serta para feminis seharusnya membangun ruang interaksi dengan berbagai gerakan sosial lainnya untuk mewujudkan slogan “sebuah dunia yang lain adalah mungkin” menjadi kenyataan.
Ketiga, sementara banyak undang-undang yang penting telah diratifikasi di tahun 1990an, tantangan di abad ke 21 adalah menggunakan undang-undang ini sebagai dasar untuk mengubah masyarakat. Gerakan Perempuan Venezuela menyadari bahwa tanpa perubahan mental masayarakat, akan menjadi hampir mustahil untuk membuat mereka sendiri setara dengan laki-laki secara hukum, politik, dan sosial. Venezuela adalah satu dari sedikit negara Amerika Latin yang mengakui kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan menghalangi evolusi sebuah masyarakat untuk benar-benar menjadi demokratis berbasis kesetaraan. Venezuela telah mengambil langkah signifikan untuk menghapuskan diskriminasi secara hukum, seperti UU Perburuhan (1997); UU Kekerasan Terhadap Perempuan (1998); UU Kesempatan yang Sama bagi Perempuan (1999); dan UU Sistem Keuangan Mikro (2001). Walau demikian, persoalan-persoalan semacam itu masih terus ada di masyarakat hingga kini.

“Kita berada ditengah-tengah sebuah transformasi sosial yang sangat berharga dimana diskriminasi, prasangka, dan ketidakadilan terhadap perempuan berada di garis depan. Revolusi ini sudah mengakui perempuan sebagai mahluk manusia. Tetapi belum bisa dikatakan bahwa kita sudah menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan di dalam masyarakat, atau bahkan di dalam pikiran perempuan itu sendiri. Diskriminasi adalah fenomena yang telah ada berabad-abad dan tidak mungkin dihapuskan dalam lima tahun. Nilai-nilai kita tidak bisa berubah dalam semalam. Namun demikian, perempuan Venezuela sekarang tahu bahwa Revolusi ini adalah Revolusi mereka, dan untuk itu, mereka mulai bangkit”, kata Nora Casteñeda, Presiden Bank Perempuan.

Dibawah pemerintahan Hugo Chávez, perempuan menjadi instrumen dalam mempelopori reformasi hukum dan kelembagaan; telah membantu merumuskan draft Konstitusi yang menciptakan sistem bagi suatu masyarakat yang berdasarkan pada keadilan soal; telah membuat kemajuan yang cepat dan signifikan dengan mendirikan NGO-NGO; telah meningkatkan keterwakilan politik perempuan; dan telah mempertahankan demokrasinya. Di dalam demokrasi partisipatoris Revolusi Bolivarian, dimana hak-hak warga negara tidak didefinisikan sebagai semata-mata politis, melainkan bergerak menuju keadilan sosial dan kesetaraan gender, (untuk itu) kaum perempuan memiliki potensi untuk membangun suatu masyarakat manusia yang baru yang tidak hanya merubah realitasnya namun sekaligus juga membangun sebuah contoh bagi dunia menyangkut kesetaraan gender. ***


Perempuan di Bolivarian Venezuela, bagian 2
___________________________
Jawaban Bolivarian untuk Feminisasi Kemiskinan di Venezuelavi
“Kami tahu bahwa persoalan ketidaksetaraan memang merupakan persoalan di seluruh dunia; bahwa kaum perempuan telah didiskriminasikn, secara politk, sosial dan ekonomi di segala bidang kehidupan mereka. Rakyat termiskin selalu merupakan kaum perempuan. Mereka bertanggungjawab terhadap seluruh keluarganya. Mereka harus menjadi ibu sekaligus ayah…[Karena itulah] Untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran kita harus mengarahkan berbagai kebijakan kepada kaum perempuan…di Venezuela kami sedang melakukannya melalui Bank Pembangunan Perempuan.”

—Nora Castañeda, Presiden Bank Pembangunan Perempuan
Selama beberapa dekade terakhir, berbagai pemerintahan, baik di negari-negeri maju maupun berkembang, dengan setengah hati mengatasi persoalan ketidaksetaraan gender yang menyejarah dengan memfokuskan pada perumusan peraturan-peraturan yang bertujuan untuk memajukan partisipasi kaum perempuan di dalam pemerintahan; menjalankan kebijakan afirmatif; serta merancang dan meloloskan peraturan yang sensitif gender. Sejauh ini, perubahan legal dan institusional tersebut, meskipun memang diperlukan guna meletakkan landasan bagi transformasi masyarakat, hanyalah merupakan langkah pembuka. Sudah semakin jelas, terkait dengan penerimaan umum terhadap sebuah fenomena kuno yang disebut sebagai “feminisasi kemiskinan” belum lama ini, bahwa upaya-upaya tersebut harus diperluas. Jalan keluar persoalan tersebut menghendaki penggunaan sebuah pendekatan yang menyeluruh berdasarkan pada berbagai strategi sosial dan ekonomi—tak cukup sekedar jawaban politis ala tambal sulam legislatif.



Gerakan Perempuan Venezuela

Sejak kaum perempuan Venezuela memulai misi kesetaraan gender, mereka menghadapi seragkaian hambatan politik, ekonomi, dan sosial. Berbagai upaya mengorganisir gerakan perempuan lintas klas terhambat oleh persaingan antar para partisan partai politik yang dominan di Republik ke Empatvii, yaitu: Partai sosial demokrat (Acción Democrática) dan Partai Kristen Demokrat (COPEI). Belum lagi tradisi maskulinisme (machismo) yang kuat bercampur dengan hukum-hukum pidana, perdata dan perburuhan yang diskriminatif yang menghambat berbagai upaya untuk lebih jauh dari sekedar jaminan hak suara (legal enfranchisement)viii dan untuk menciptakan suatu demokrasi gender yang menyeluruh bagi kaum perempuan.

Perubahan iklim internasional yang mendukung feminisme, serta pendapatan fiskal yang bertambah tiga kali lipat antara tahun 1972 dan 1975 terkait dengan booming minyak Venezuela, memberikan sumbangan bagi pembentukan sebuah lembaga kenegaraan bagi kaum perempuan, serta lolosnya sejumlah langkah hukum yang menguntungkan perempuan. Namun, selain kemajuan hukum yang substansial ini—dalam hal pembuatan dan penerapan berbagai hukum dan kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan kepedulian terhadap isu-isu perempuan—ketimpangan gender sejauh ini hanya ditangani di permukaan saja. Kaum perempuan Venezuela tetap tersingkir secara politik; dieksploitasi secara ekonomi; dan sedikit berperan, jikalau pun menyumbang kemajuan, dalam mentransformasi norma-norma sosial.

Dengan berkuasanya Chávez tahun 1998, Venezuela menghancurkan tatanan demokrasi lamanya untuk menciptakan suatu masyarakat yang lebih demokratik dimana hak-hak warganegara diakui lebih dari sekedar politis. Gagasan Bolivarian telah mengabdikan dirinya untuk menganalisa, baik penyebab-penyebab yang sudah begitu jauh menghalangi pembangunan suatu masyarakat berlandaskan keadilan sosial dan kesetaraan, maupun untuk berjuang menemukan sebuah solusi yang masuk akal yang mampu mengatasi keruwetan sosial dan perekonomian negeri. Melanjutkan cita-cita ini, metode pendekatan sejumlah persoalan di dalam masyarakat, termasuk kemiskinan kaum perempuan, tidak lagi terpusat pada perundang-undangan semata, tapi juga pada solusi-solusi lain yang nyataix. Sementara keberhasilan dari berbagai upaya ini harus tetap benar-benar terukur, yang pasti bahwa, perundang-undangan saja tidak mampu untuk memberantas kemiskinan.

Sebuah Bank untuk Perempuan, Mengapa?

Menurut berbagai studi yang dilakukan oleh PBB, persentase kaum perempuan yang hidup dalam kemiskinan tidaklah proporsional--diperkirakan diatas 70 % diseluruh dunia. Chávez dan beberapa Kepala Negara lain telah berkomitmen terhadap cita-cita pembangunan milenium (MDG), termasuk mengurangi kemiskinan sampai 50% hingga tahun 2015. Tidak seperti pemerintahan sebelumnya yang hampir tidak pernah memberikan perempuan sebuah posisi simbolik atau kementrian di pemerintahan, Chávez selama ini memberikan perhatian terhadap kompleks dan akutnya feminisasi kemiskinan, serta melaksanakan sebuah upaya yang sungguh-sungguh untuk mengimplementasikan kebijakan yang menyeluruh terhadap bagian dari sektor masyarakat. Mungkin yang terpenting, sekaligus menjadi contoh keberhasilan dari solusi-solusi ini, adalah terbentuknya Bank Pembangunan Perempuan (Banco de la Mujer atau Banmujer) pada tanggal 8 Maret 2001.

“Saat ini kita berada pada situasi yang istimewa,” kata Loryan Cazadilla, dari Banmunjer, menekankan bahwa pembentukan Banmunjer dikondisikan oleh inisiatif Chávez. “Kita memiliki seorang presiden dengan mental yang sangat progresif, yang berfikiran terbuka, peka, dan memahami situasi kaum perempuan. Kita tidak pernah memiliki yang semacam ini sebelumnya di Venezuela. Sekarang kita sedang mempersatukan perjuangan kaum perempuan sejak tahun 1960an bersama Presiden ini, yang telah berhasil membentuk Banco de la Mujer.”

Perempuan sebagai Tenaga Kerja

Sebelum menguraikan mengenai visi Bank tersebut, ada baiknya kita melihat lebih dekat evolusi tenaga kerja kaum perempuan Venezuela. Pada tahun 2002, tahun terakhir dimana statistiknya tersedia, orang dapat mengamati bahwa tingkat pertumbuhan tenaga kerja perempuan cukup signifikan dibandingkan 12 tahun sebelumnya, sementara jumlah tenaga kerja laki-laki lebih kurang tetap konstan.
Evolusi Keterlibatan Perempuan Sebagai Tenaga Kerja 1990-2002

Tahun Laki-laki Dipekerjakan
Perempuan Dipekerjakan Laki-laki
Menganggur Perempuan
Menganggur
1990
80.6%
35.6%
11.6%
9.2%

1996
89.5%
43.3%
10.5%
16.2%

2002
85.6%
81.2%
14.4%
18.8%


Tabel 1. Sumber: Institut Nasional untuk Perempuan, “Rencana Kesetaraan untuk Perempuan 2004-2009” (Angka statistik sudah termasuk sektor-sektor formal dan informal)
Sementara keterlibatan [kaum perempuan] ini merupakan sebuah kemajuan yang besar sejak tahun 1960an—ketika 25% saja kaum perempuan yang menjadi tenaga kerjax—adalah penting untuk menganalisa tipe-tipe pekerjaan yang perempuan tempati. Menurut Menteri Perburuhan (Ketenagakerjaan), sekitar 50% tenaga kerja Venezuela bekerja di sektor informal. Kaum perempuan telah ‘berhasil’ mendominasi sektor ini, dengan pekerjaan berupah rendah, tidak ada pensiun, dan kondisi kerja yang buruk.

Di tahun 1990 hanya 19,2% dari keseluruhan perempuan (bekerja atau atau menganggur) berkerja di sektor informal, dibandingkan dengan 24,8% kaum laki-laki yang diperkerjakan disektor yang sama. Menjelang tahun 1998, 35% perempuan bekerja di sektor informal, sementara persentase laki-laki meningkat sedikit menjadi 28,2%.xi Lebih dari itu, initiatif pemerintah untuk mengurangi pengangguran, seperti proyek-proyek padat karya di bidang pembangunan, lebih banyak memperkerjakan laki-laki daripada perempuan, ujar María León, Presiden Institut Nasional untuk Perempuan.

Pelayanan Keuangan: Pembangunan Sosial dan Kemanusiaan yang Mengutamakan Kaum Perempuan

Bank Pembangunan Perempuan berusaha mengatasi arena yang tidak setara ini dengan memberdayakan kaum perempuaan secara ekonomi, politik dan sosial. Sebagai sebuah bank pembangunan sosial, ia memberikan dua macam pelayanan, yakni: keuangan dan non keuangan.

Pelayanan keuangan terdiri dari pinjaman berbunga rendah yang disebut dengan kredit mikro; konsultasi untuk membentuk dan mengembangkan proyek-proyek; pelatihan administratif; dan tindak lanjut investasi. Banmujer memajukan sebuah konsep pembangunan sosial dan kemanusiaan yang mengistimewakan kaum perempuan, dengan memberikan kaum perempuan pelatihan dan kapasitas (kemampuan) keuangan untuk memulai usaha komunitas kecil serta memperoleh penghasilannya sendiri, termasuk berbagai sumber daya yang dibutuhkan agar mereka dapat memegang kendali kehidupannya.

Pada tahun 2001, Chávez mengangkat Nora Castañeda, seorang aktivis hak-hak perempuan dan ekonom di Universitas Sentral Venezuela (UCV), sebagai presiden Banmujer. Selain peran aktifnya dalam merancang Konstitusi Venezuela yang baru, Castañeda memiliki pengalaman yang luas bekerja dengan organisasi-organisasi perempuan akar rumput, kekerasan domestik, dan berbagai reformasi ekonomi yang sensitif-gender.

Menurut Castañeda, Bank Perempuan “berkomitmen untuk pembangunan kemanusiaan yang berkelanjutan, yang lebih jauh [dari sekedar] ekonomi… kami sudah melakukan sebuah proses multidimensi yang bertujuan untuk meningkatkan standar hidup kaum perempuan dan keluarganya serta demi generasi mendatang. Dengan memberdayakan kaum perempuan untuk mewujudkan hak-hak dan kewajibannya sebagai warganegara, kami berharap dapat menciptakan keadilan sosial dan perdamaian seperti yang dicita-citakan di dalam konstitusi kami.”

Tidak hanya jelas dalam visi, dibanding bank-bank lainnya, Banmujer juga diorganisasikan secara berbeda. Daripada memiliki kantor-kantor cabang, Banmujer bergantung pada jaringan para sukarelawanxii yang setiap minggu mengunjungi 149 komunitas yang paling miskin dan padat dalam rangka untuk memberikan pelayanan perbankan secara pribadi kepada perempuan yang miskin. Loryan Calzadilla mengumpamakan jaringan para pendukung ini sebagai tulang punggung bank. “Para pendukung bekerja siang dan malam, hari Minggu sampai Sabtu. Tanpa mereka, kami tidak dapat menjangkau masyarakat. Mereka berada di bukit-bukit, di lingkungan-lingkungan paling miskin, di komunitas, di daratan Amazon, dan ditengah-tengah masyarakat pribumi.”

Selama kunjungan komunitas (community visit)xiii yang pertama, para pendukung menginformasikan kepada kaum perempuan bahwa Banmujer didasarkan pada konsep “ekonomi kerakyatan”, dengan kata lain, berlandaskan pada suatu ekonomi yang memberikan manfaat bagi semua orang. Para sukarelawan kemudian mulai memberikan gambaran mengenai persyaratan yang harus dipenuhi oleh kaum perempuan untuk dapat menjadi ’nasabah’ bank tersebut. Sebagai contoh, kaum perempuan harus membentuk sebuah kelompok antara 5 sampai 10 orang serta memutuskan usaha macam apa yang akan mereka jalankan.

“Kami tidak memberi kaum perempuan rencana proyek-proyek tertentu,” kata Sonia Hernandez dari Banmujer. “Kaum perempuan itulah yang harus memikirkan proyek mereka sendiri. Kami membimbing dan mengarahkan mereka. Tentu sulit bagi seorang perempuan yang berpendidikan rendah, belum pernah masuk ke universitas, untuk memulai menjalankan sebuah bisnis—sekalipun dengan petunjuk-petunjuk mendasar,” aku Hernandez. “Beberapa dari mereka bahkan tidak tahu bagaimana cara membaca dan menulis. Jika memang demikian, maka seorang anak perempuannya atau teman atau partner bisnis akan membantunya sampai ia belajar. Bank tidak mengambil tanggung jawab ini. Gagasannya adalah agar orang tersebut dapat belajar untuk berdaya. Ketika kami menemukan kasus-kasus semacam ini, kami memasukkan perempuan-perempuan tersebut ke dalam Misi Robinson (kampanye pemberantasan buta huruf oleh pemerintah), sehingga mereka dapat belajar membaca dan menulis.” :D



Tidak ada komentar: